Skema
(alternatif) pembayaran DP 0 (nol) Rupiah di Jakarta
Berdasarkan
aturan dari Bank Indonesia nomer 18/16/PBI/2016, para (calon) debitur
diwajibkan untuk memiliki/membayarkan uang muka (DP) terlebih dahulu sebelum
kredit untuk perumahan bisa dicairkan. Sehingga kredit perumahan tanpa DP,
berdasarkan aturan Bank Indonesia tersebut, tidak diperbolehkan. Namun, Bank
Indonesia tidak mengatur dari manakah DP tersebut berasal. Kreditur (bank)
sendiri pun juga tidak mempermasalahkan dari mana DP tersebut asalkan (calon)
debitur memiliki/membayarkannya.
Dari
peraturan ini, kita dapat membuat skema pembayaran DP alternatif yang
meringankan bagi debitur. Skemanya adalah dengan melibatkan pihak ketiga (kreditur
secondary) sebagai “pembayar” DP tersebut, atau sering dikenal dengan cara mezzanine debt.
Pihak
ketiga memberikan “talangan” kepada debitur untuk digunakan sebagai DP atas
pembelian rumah. Sehingga dari skema ini debitur pada dasarnya memiliki hutang
sebesar 100% di mana proporsi 85% adalah hutang kepada kreditur utama dan proporsi 15% adalah hutang kepada
kreditur secondary.
Dengan
cara ini debitur akan lebih dimudahkan dalam pemenuhan aturan Bank Indonesia
mengenai pemenuhan DP. Tentu saja akan ada perjanjian hutang piutang antara
debitur dan kreditur secondary di
luar perjanjian hutang piutang utama, yaitu antara debitur dan kreditur utama.
Namun
hal ini menimbulkan potensi permasalahan baru, yaitu adanya potensi moral hazard dari debitur karena
pembiayaan terhadap rumah seluruhnya “tanpa biaya” atau dibayarkan oleh pihak
lain selain debitur. Permasalahan lain yang muncul tentu saja adalah pertanyaan
mengenai lembaga/pihak mana yang mau menjadi kreditur secondary? Mengingat akan resiko yang dihadapi, maka kecil
kemungkinan lembaga pembiayaan konvensional mau mengambil peran tersebut.
Pemerintah DKI
Jakarta dapat mengambil peran di sini. Pemerintah DKI Jakarta dapat bertindak
sebagai kreditur secondary bagi para
(calon) debitur yang memenuhi syarat. Selain itu pemerintah juga dapat
bertindak sebagai penjamin bagi debitur atas kredit secondary yang diberikan. Jika disimpulkan, peran yang dapat
diambil pemerintah antara lain:
- Bekerjasama dengan perusahaan penjaminan kredit untuk penjaminan kredit.
- Membentuk badan layanan umum pengelola perumahan rakyat di mana badan ini bertugas untuk mengadakan perumahan rakyat bagi pemenuhan kebutuhan perumahan.
Tentu saja
perjanjian tambahan untuk menghindari terjadinya wanprestasi terhadap kredit
tersebut diperlukan di sini. Perjanjian tambahan yang dapat digunakan antara
lain:
- Memberikan hak tanggungan atas rumah yang dibeli kepada kreditur utama dan kreditur secondary dengan persetujuan kreditur utama;
- Hak kepemilikan atas rumah tersebut diberikan kepada kreditur secondary dan baru akan dialihkan kepada debitur setelah seluruh hutangnya lunas.
Dengan
potensi pembiayaan yang cukup besar, maka muncul pertanyaan lain yaitu apabila
skema ini digunakan, dari mana pemerintah memperoleh dana yang akan digunakan
sebagai kredit secondary? Menggunakan dana APBN dirasa terlalu riskan untuk
program ini. Pemerintah dapat menggandeng pihak swasta untuk melaksanakan skema
ini. Berfungsi sebagai penjamin, tentu membuat skema ini lebih aman di mata pihak
swasta.
Dengan
potensi pembiayaan yang cukup besar, maka muncul pertanyaan lain yaitu apabila
skema ini digunakan, dari mana pemerintah memperoleh dana yang akan digunakan
sebagai kredit secondary? Dengan asumsi bahwa maksimal harga rumah adalah sebesar
Rp 350 juta di mana berarti DP yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp 53 juta,
dan dengan asumsi target penerima adalah 50.000 orang, maka dibutuhkan dana
sebesar Rp 2,7 triliun atau hanya sebesar 4% dari APBD DKI saat ini.
Namun
apabila target penerima bertambah besar, menggunakan dana APBN mungkin dirasa
terlalu riskan untuk program ini. Pemerintah dapat menggandeng pihak swasta
untuk melaksanakan skema ini. Berfungsi sebagai penjamin, tentu membuat skema
ini lebih aman di mata pihak swasta.
Comments
Post a Comment